Selamat Datang!

Terimakasih Anda telah mengunjungi Blog sederhana ini. Jangan lupa, beri komentar....

Senin, 26 Oktober 2009

Kontroversi Nobel Obama

Oleh: Faisal Assegaf

Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama saja terkejut, apalagi warga dunia. Barangkali tidak ada seorang pun di jagad ini yang menyangka pada 9 Oktober lalu ia akan memperoleh Nobel Perdamaian hanya dalam sembilan bulan masa jabatannya. Komite Nobel di Ibu Kota Oslo , Norwegia, beralasan ia sudah berupaya sangat besar untuk menciptakan dunia bebas senjata nuklir dan situasi hubungan internasional lebih baik, terutama mengenai hubungan negaranya dengan dunia Islam.

Sebuah penilaian terburu-buru untuk menyimpulkan kebijakan Obama, 48 tahun, soal perdamaian dunia bakal berhasil. Belum ada satu pun dari dua gagasan besar itu yang terwujud. Lima anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ditambah India, Pakistan, Israel, Iran, dan Korea Utara masih memiliki kekuatan nuklir. Hubungan Amerika dan Islam pun belum harmonis. Jadi, pantas saja ia terkejut dan kontroversi soal Nobel merebak.

Dua ambisi Obama itu seperti mimpi yang mustahil dicapai. Bagaimana mungkin presiden kulit hitam pertama Amerika ini menyerukan dunia tanpa senjata pemusnah massal selagi Amerika masih mempunyai cadangan. Tentu saja, mereka harus memberikan contoh lebih dulu agar negara-negara berkekuatan nuklir lain meyakini itikad baiknya. Namun, dapat dipastikan Washington menolak menjadi negara pertama yang melucuti senjata nuklir.

Lucunya lagi, belum bisa menjadi panutan, negara Abang Sam ini melarang Iran dan Korea Utara memiliki teknologi nuklir. Sejak periode pertama pemerintahan mantan presiden George Walker Bush, Amerika getol berkampanye agar masyarakat internasional menekan kedua negara itu. Gedung Putih menganggap Pyongyang yang komunis dan Teheran yang anti-Zionis ancaman bagi perdamaian dunia karena dipercaya sudah memiliki senjata nuklir.

Untuk kasus India dan Pakistan , isu ini kian rumit diselesaikan. Kedua negara bertetangga ini sudah tiga kali berperang sejak Pakistan lepas dari India pada 1947. Konflik berkepanjangan menyangkut klaim atas wilayah Kashmir ini membuat hubungan mereka selalu dihantui kecurigaan. Alhasil, kekuatan nuklir yang sungguh dahsyat sangat diperlukan untuk mencegah kedua negara saling serang.

Seruan Obama ini juga akan dipandang sebelah mata karena standar ganda yang mereka terapkan atas Israel . Gedung Putih tidak pernah mengecam atau menyatakan kecurigaan negara Zionis itu telah mempunyai senjata nuklir. Padahal bukti nyata sudah diketahui dunia. Mordechai Vanunu, ahli nuklir yang pernah bekerja di Reaktor Dimona, kawasan gurun Negev, membocorkan Israel menyimpan 200 hulu ledak nuklir. Karena tindakannya itu, Vanunu sempat mendekam di penjara isolasi 18 tahun dan sekarang dikenai status tahanan kota di Yerusalem Timur. Israel dipastikan tidak akan mau melucuti senjata nuklirnya karena sadar ancaman besar hidup di tengah negara-negara Arab yang memusuhi mereka.

Mimpi kedua juga sungguh sulit diwujudkan selama Palestina belum merdeka. Isu ini menjadi satu-satunya kunci untuk masuk ke situasi hubungan harmonis antara Amerika bersama sekutunya dengan negara-negara Muslim dan terciptanya perdamaian di Timur Tengah. Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih Mei lalu, Presiden ke-44 Amerika ini menyampaikan rancangan pembentukan negara Palestina paling lambat tiga tahun mendatang.

Dukungan penuh dan hubungan khusus antara Amerika dan Israel telah melahirkan kelompok-kelompok yang anti terhadap kedua negara itu, seperti Hamas di Palestina, Hizbullah di Libanon, serta Al-Qaidah dan Taliban di Afganistan dan Pakistan. Ia pun harus siap menanggung risiko anjlok popularitasnya di kalangan Muslim karena memindahkan medan perang dari Irak ke Afganistan.

Namun usaha keras Obama mendamaikan kedua pihak yang bertikai lebih dari enam dekade itu gagal. Lawatan ulang-alik utusan khusus George Mitchell dan Menteri Luar Negeri Hillary Rodham Clinton ke Timur Tengah hanya membawa tangan kosong. Yang terjadi, ia malah dipermalukan lantaran Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak tuntutannya agar pembangunan permukiman Yahudi di Yerusalem Timur, Tepi Barat, dihentikan. Obama merasa isu ini penting karena Presiden Otoritas Palestina sekaligus pemimpin Fatah Mahmud Rida Abbas menjadikan itu sebagai syarat kembali ke meja perundingan.

Proyek permukiman ini merupakan strategi Tell Aviv untuk mengusir warga Palestina dari Yerusalem Timur, kota suci tiga agama – Islam Yahudi, dan Kristen – yang diimpikan menjadi ibu kota negara Palestina mendatang. Meski melanggar hukum internasional, Negeri Bintang Daud ini sudah menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota abadi mereka dan tidak dapat dibagi dua melalui Jerusalem Basic Law yang disahkan Knesset (parlemen Israel) pada 1980. Seluruh kantor pemerintahan, termasuk kediaman resmi Netanyahu sudah pindah ke Yerusalem. Sebagai gantinya, Israel menawarkan Abu Dis di pinggiran Yerusalem Timur, sebagai calon ibu kota Palestina merdeka.

Semestinya itu bukan prioritas pertama. Obama harus lebih dulu merekatkan kembali persatuan antara Hamas dan Fatah Perpecahan keduanya juga dipicu penolakan Amerika bersama Israel atas kekuasaan Hamas yang memenangkan pemilihan umum 25 Jnauari 2006 karena mereka anggap sebagai organisasi teroris. Perdamaian dua kelompok terbesar di Palestina ini sangat diperlukan agar bangsa Palestina mempunyai satu suara dalam berunding dengan negara Yahudi itu.

Namun misi itu pun masih terhambat oleh sikap agresif Israel terhadap rakyat Palestina. Obama sebaiknya segera menghentikan isolasi atas Jalur Gaza yang mengakibatkan sekitar 1,5 juta penduduk mati pelan-pelan lantaran pasokan bahan makanan, listrik, air, bahan bakar, obat-obatan, dan barang lainnya kian menipis. Kondisi mereka makin mengenaskan setelah Israel menggempur wilayah itu selama 22 hari dan menewaskan lebih dari 1.400 orang, setengahnya anak-anak dan perempuan. Israel beralasan itu sebagai hukuman atas serangan roket yang dilancarkan pejuang Hamas dan Jihad Islam ke wilayah selatan negara itu. Tentu saja, akibat dan kerusakan yang ditimbulkan tidak sebanding.

Presiden dari Partai Demokrat ini juga mesti menyetop dan menghancurkan proyek Tembok Pemisah di Tepi Barat. Pembangunan dinding apartheid ini telah menyerobot dan mengambil paksa tanah-tanah milik warga Palestina. Kebebasan mereka pun – yang sudah dibatasi oleh 650 pos pemeriksaan militer Israel – kian terbelenggu. Tembok sepanjang 750 kilometer ini hanya dilengkapi satu pintu keluar-masuk di tiap kota yang dilewati. Mereka juga diawasi kamera pengawas 24 jam dan pesawat pengintai tanpa awak.

Dengan hasil nol yang diraih Obama sejauh ini, ia belum pantas meraih penghargaan itu. Kalau sekadar gagasan hebat dan usaha keras yang dijadikan pertimbangan Komite Nobel, Richard Goldstone yang mengepalai tim pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa di Gaza lebih berhak. Ini pertama kalinya PBB menyelidiki perang yang melibatkan Israel , satu tindakan yang wajib diacungi jempol.

Hasilnya benar-benar mengejutkan. Laporan 575 halaman yang disusun hakim keturunan Yahudi dari Afrika Selatan itu bersama empat anggota timnya menyimpulkan Israel dan Hamas sama-sama melakukan kejahatan perang dalam 22 hari agresi Israel ke Gaza. Laporan tim pencari fakta ini merekomendasikan kepada Dewan Keamanan PBB untuk memerintahkan Israel dan Palestina membuat penyelidikan independent atas kesimpulan itu. Jika dalam enam bulan tidak ada hasil, Dewan Keamanan harus membawa kasus ini ke Mahkamah Kejahatan Internasional di Den Haag, Belanda. Sepekan setelah laporan ini diumumkan pada pertengahan bulan lalu, rezim Obama menyebut kesimpulan itu tidak adil karena dianggap lebih menyoroti kekejaman yang dilakukan Israel ketimbang apa yang diperbuat Hamas.

Calon kuat terakhir yang lebih patut ketimbang Obama adalah Presiden Mesir Husni Mubarak. Selama tiga tahun terakhir, ia sudah melakukan apa yang belum diperbuat oleh Obama, yakni menengahi perundingan Palestina-Israel, Hamas-Israel, dan Hamas-Fatah walau tanpa hasil. Ia pula yang kadang mengizinkan pasokan kebutuhan warga Gaza masuk melalui pintu perbatasan di Rafah. Amerika pun selalu menjadikan mitra untuk menghidupkan proses perdamaian Palestina dan Israel . Saking pentingnya posisi Mesir, Obama menjadikan Kairo sebagai tempat untuk menyampaikan gagasan hubungan baru dengan dunia Muslim, sebuah pidato yang disanjung banyak pihak.

Masyarakat internasional boleh saja menaruh harapan terlampau tinggi terhadap Obama. Tapi pemberian Hadiah Nobel kepada Obama pada tahun pertama tanpa prestasi itu terlalu prematur.

Dimuat di Koran Tempo, 26 Oktober 2009

2 komentar:

  1. kunjungi blog ku ya. . .
    kalo bisa jadi followers langsung beri komentar ya. .
    kalo udah ntar ku follow balik dech. .

    BalasHapus
  2. kunjungan balik. . . komentar balik. .hahaha

    BalasHapus